Senin, 03 Oktober 2016

Kenali Sebab Anak Merasa Takut


Anak balita yang memiliki kewaspadaan tinggi akan terlihat sebagai anak yang mudah takut untuk mencoba sesuatu yang baru. Dan mereka juga tidak terlalu mudah atau cepat bergaul dengan anak atau orang dewasa yang belum dia kenal. Mereka cenderung menghindar atau menolak orang yang "level keamanannya" belum diukur atau dibuktikan sendiri untuk bisa dianggap sebagai teman. Hal ini juga terjadi pada mas Arvin akhir-akhir ini.

Mereka tetap bisa beradaptasi dengan lingkungan baru tetapi membutuhkan waktu beberapa jam atau beberapa kali datang. Dalam mencoba permainan pun, tidak sembarang permainan akan dia pilih. Dia akan cenderung melihat-lihat terlebih dulu mainan apa yang aman buat dia, baru kemudian berhati-hati mencobanya. Dan cenderung bertahan lama pada satu wahana permainan ketimbang ingin segera mencoba yang lain. Bagi dia yang penting "yang ini sudah terbukti aman atau nyaman, yang lain belum tentu" baginya.

Menurut saya, anak-anak yang memiliki kewaspadaan tinggi sebenarnya bukan anak penakut, tapi mereka adalah anak yang mampu berpikir kritis dan mulai sadar terhadap kondisi diri dan lingkungan sekitarnya. Jika dia rasa belum "klik" antara kondisi dirinya dan dengan orang lain atau lingkungannya, maka rasa tidak nyaman tetap ada. Oleh karena itu orang tua wajib kenali sebab anak merasa takut.

Setelah browsing di sana-sini, ternyata pemikiran ayah tersebut senada dengan penjelasan dari Ari Brown, MD, salah satu penulis "Baby 411" (Windsor Peak Press). Brown menjelaskan bahwa rasa takut - dari suara keras, monster, orang asing, benda, atau dari suatu kegiatan tertentu - adalah bagian alami dari masa anak-anak. Hal ini merupakan bagian dari perkembangan normal, takut merupakan tanda bahwa dia sadar terhadap lingkungan dan mencoba untuk memahaminya (parents.com).

Sebenarnya "rasa takut" itu mulai tumbuh saat orangtua mengajarkan pada anak-anaknya untuk berhati-hati, takut, cemas, atau waspada dari bahaya tertentu, seperti kebakaran, benda tajam, tempat yang tinggi, atau saat menyeberang jalan. Hal ini baik sebab tujuannya untuk melindungi anak-anak dari bahaya. Namun, anak-anak tak jarang menjadi takut terhadap situasi atau benda yang menurut orang dewasa hal tersebut sebenarnya tidak mengandung ancaman atau bahaya.

Seyogyanya orang tua tidak malah menggoda atau memaksa (mendesak, membentak, dengan tanpa dukungan) ke anak untuk menghadapi rasa takutnya. Menggoda anak sehingga menjadi takut atau memaksa mereka untuk menghadapi situasi menakutkan malah akan memperparah perasaan takutnya.

Hal yang terbaik dilakukan oleh orang tua guna membantu anak untuk menghadapi rasa takut, yaitu dengan memahami benar-benar perasaan mereka dengan serius, mendorong mereka untuk berbicara tentang rasa takut mereka, memberitahu mereka tentang bukti-bukti atau fakta-fakta, dan memberi mereka kesempatan untuk menghadapi rasa takutnya dengan langkah atau cara mereka sendiri, tentunya dengan tetap mendapat dukungan orangtua, baik ayah maupun ibu (betterhealth.vic.gov.au).

Oleh karena itu orang tua tetap harus memberikan data tambahan atau data pembanding agar ketakutan anak tidak menjadi berlebihan. Dalam hal ini, menurut saya, meskipun dukungan ibu juga harus tetap ada, namun komunikasi ayah dan anak menjadi hal yang paling berperan. Mengapa?

Ayah pada dasarnya memiliki figur dengan logika yang lebih unggul dari perasaannya, terlatih berani mengambil resiko, dan mengambil keputusan yang didasarkan pada data-data yang dipertimbangkan secara matang. Sedangkan ibu cenderung lembut dan penuh kasih sayang, lebih "tidak tega-an dengan anak" ketimbang ayah. Ketika anak merasakan takut yang berlihat maka peran ayahlah yang harus memperjelas data, membuktikan pada anak, memberikan dorongan pada anak, dan kemudian mendukung penuh anak dalam mengatasi rasa takutnya. Di saat-saat seperti ini, seorang ibu harus sabar untuk sementara memberi kesempatan ayah untuk mentransfer keberanian dan sikap kritis pada anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar