Jumat, 18 November 2016

Komunikasi Sehat dan Kepercayaan Anak

Seorang teman mengatakan bahwa anaknya yang berumur 11 tahun sekarang ini lebih cenderung percaya pada temannya daripada perkataan ibunya, mudah membantah instruksi orangtuanya, padahal dulunya tidak pernah seperti itu. Begitu pula anak tetangga yang berumur antara 10-11 tahun, mulai tidak patuh pada aturan-aturan yang diterapkan ibunya dan lebih percaya pada orang lain atau temannya. Mengapa hal itu terjadi dan bagaimana mengantisipasinya? Hal ini membuat kami ingin belajar lebih jauh lagi tentang bagaimana ortu membangun komunikasi yang sehat antara ortu dengan anak, dan bagaimana ortu mendapatkan kepercayaan anak. Berikut ini fakta-fakta atau pengetahuan yang kami peroleh dan kesimpulan dari hasil diskusi kami.

Menurut psikolog, anak usia segitu memang usia di mana mulai ada perubahan hormonal yang mempengaruhi perilaku. Anak yang mengalami ini tidak sadar apa yang sedang terjadi pada dirinya, cenderung emosional. Perubahan emosinya yang labil akan lebih tampak lagi ketika masa pubertas. Hal ini dipengaruhi oleh kemasakan hormon saat memasuki usia remaja. Gesell, dkk, juga menuturkan bahwa remaja 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, emosinya cenderung meledak, dan tidak berusaha mengendalikan perasaannya (Hurlock, 1993) karena emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka dari pada perilaku yang realistis. Oleh karena itu, masa remaja merupakan masa kritis bagi peneguhan atau pembentukan kepribadian apa yang akan dia miliki nanti.

Beberapa pertanyaan pun muncul di benak saya, antara lain: apakah kesadaran anak terhadap perubahan tubuhnya tidak mampu mengenali dan mengatasi faktor hormonal tubuhnya sendiri? apakah hal ini tidak bisa diantisipasi atau setidaknya efek negatifnya dikurangi? apa dan bagaimana peran orang tua agar mampu membimbing anak agar memiliki pribadi yang sehat di masa seperti ini?

Pembahasan pertama yang saya ingin bahas dari kasus anak teman saya di atas adalah apakah betul anak seusia 10-11 tahun (mulai remaja) hanya mau mendengar perkataan temannya. Menjawab hal ini, saya ingin balik bertanya apakah setiap temannya dipercaya oleh si anak? tidak juga bukan. Ada juga teman-temannya yang tidak dia suka atau tidak dia percayai.

Sehingga masalah sebenarnya apa? apakah hanya hormonal? menurut saya salah satunya adalah mereka (remaja) memiliki "keinginan" untuk tidak ingin disikapi sebagai anak-anak lagi oleh orang tuanya. Mereka ingin dianggap sebagai anak yang bisa berpikir dan mandiri. Mereka cenderung tersinggung jika diatur. Teman-teman dekat dia yang seumuran tentu memiliki kedekatan emosional karena mereka memiliki kesamaan "keinginan" tersebut. Keinginan ini jika tidak disadari orang tua dengan tetap menganggap mereka sebagai anak balita atau kanak-kanak, tidak memberikan kepercayaan, tidak mengasah kemandirian mereka, maka wajar akhirnya anak kurang dekat secara emosional dengan orang tuanya ketimbang dengan teman-teman. Hal ini kemudian anak akan lebih mengikuti atau percaya pada omongan teman ketimbang orang tua.

Orang tua yang mendikte anak-anaknya bagaimana seharusnya memecahkan masalahnya dan mengarahkan bahwa anak-anak tidak memiliki kendali atas kehidupannya sendiri, maka mereka akan kehilangan kepercayaan dari anak-anaknya. Kegagalan komunikasi orang tua kepada anak karena gaya komunikasi orang tua yang cenderung memojokkan anak ketika anak salah, menyindir, atau menguliahi.

Agar tujuan komunikasi orang tua pada anak berhasil, sebaiknya orang tua menggunakan gaya komunikasi yang menanyakan alasan atau sebab perilakunya, berbicara dengan nada positif, dan tidak kasar. Hal tersebut akan membuat anak lebih menghormati orang tua dan mendapat kepercayaan dari anak.

Namun ada hal juga yang tidak bisa dipungkiri, bahwa faktor hormonal juga mempengaruhi cara berpikir anak. Anak yang sudah berusia 7 tahun ke atas sudah mulai berkembang kemampuan berpikirnya, mempertanyakan banyak hal yang awalnya sekedar "apa" meningkat menjadi "mengapa" dan "bagaimana". Jika anak sudah masuk fase seperti ini maka orang tua sudah selayaknya mengajak, melatih, dan mengarahkan anak untuk mampu berpikir mandiri, menarik kesimpulan sendiri dengan benar, berperilaku atas dasar kesadarannya sendiri, bukan berupa perintah langsung.

Bagaimana cara membentuk anak agar mampu berpikir mandiri dengan benar? Dalam hal ini yang harus memulai adalah orang tua. Orangtua harus mulai mengasah dirinya sendiri dalam hal keterampilan bertanya. Keterampilan bertanya ini sebenarnya adalah cara pendidikan Allah terhadap manusia. Keterampilan bertanya ini maksudnya adalah mengajak seseorang membuat kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan yang dia jawab sendiri. Sebagaimana ayat-ayat Allah yang senantiasa memberikan fakta-fakta dan pertanyaan-pertanyan yang mengajak manusia untuk berpikir dengan benar.

Contoh-contoh ayat yang mengajak manusia berpikir dengan cara memberi data dan pertanyaan:

“Katakanlah, “Mengapa kamu menyembah selain dari Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudarat kepadamu dan tidak (pula) mendatangkan manfaat bagimu? Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Quran Surah Al-Maidah:76)
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebahagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir. (Al-Quran Surah Ar-Ra’d: 4)

Keterampilan bertanya dan mengajak berpikir ini lebih baik lagi jika dibiasakan sejak dini, tentunya bentuk pertanyaan dan fakta yang diberikan diberikan sesuai dengan tingkat berpikir anak.

Untuk anak kami, mas arvin, yang masih 2 tahun 4 bulan, pertanyaan yang mampu dia jawab dengan lancar masih berupa "apa", sedangkan "bagaimana" atau menceritakan kejadian yang telah dialami masih perlu panduan ayah dan bunda. Kami sering pula memberikan pertanyaan yang meminta dia memilih "pilih yang mana?" dan menunjukkan konsekuensi dari setiap pilihan, dengan harapan kami membiasakan dia untuk mempertimbangkan setiap keputusannya secara mandiri.

Kami menyadari bahwa anak seusia dia masih butuh banyak inputan data atau pengetahuan dan kosakata. Keterbatasan kosakata menjadi penghambat dia saat menjawab. Namun kami bantu dengan memberi pancingan kata, semisal ada tumbuhan putri malu kemudian dia agak lupa apa nama atau kata yang tepat, ketika setelah kami bertanya, "nama tumbuhan ini apa ya mas?", jika dia tampak bingung, kami pancing, "putri ...". Atau dengan kalimat non verbal (ekspresi, gerakan, menunjuk, dls) saat kami bertanya, "bagaimana gerak daunnya saat disentuh?", tangan kami sambil menirukan gerak menutup sehingga dia bisa mengingat kata "menutup".

Kalau dihubungkan dengan taksonomi bloom untuk anak-anak pra SD memang masih masuk dalam tahap C1, yakni kemampuan menjawabnya masih sebatas hapalan dan kebiasaan. Oleh karena itu sementara ini kami membiasakan untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya dia sudah mendapat data atau pengetahuan tentang hal tersebut dari tindak tanduk dan kata-kata yang dicontohkan orang tuanya.

Berikut ini contoh lain dari keterampilan bertanya tersebut. Suatu ketika bunda memasakkan sosis berbentuk potongan-potongan kecil dan ditaruh di sebuah wadah. Wadah tersebut kemudian diletakkan mas arvin di atas lantai. Setelah makan, masih ada sisa, mas arvin meninggalkan begitu saja wadahnya di atas lantai.

Ayah: "mas, masih ingin makan sosisnya?"
Arvin: "iya"
Ayah: "ada semut di lantai lho, nanti sosisnya bakal dikerubungi semut. Terus ini sebaiknya wadah sosisnya ditaruh mana ya?"
Arvin: ... "meja" (langsung datang, mengambil wadah tersebut dan meletakkannya di atas meja).

Contoh kedua saat bunda ke toko kelontong tapi bawa uang pas untuk belanja, mas arvin minta dibelikan susu kotak dan biskuit. Tapi bunda menolak.

Bunda: "uang bunda tidak cukup kalau buat beli susu kotak dan biskuit. Pilih salah satu saja ya, biskuit atau susu kotak?"
Arvin: ... (mengamati bergantian kedua jajan, kemudian susu kotak tetap dipegang, biskuit dikembalikan sendiri).

Membiasakan hal tersebut memang membutuhkan kesabaran, komitmen, dan kekompakan dari kedua orang tua. Dengan begitu kedua orang tua bisa saling mengingatkan untuk tetap melatih kemampuan berpikir dan kemandirian anak. Hal ini baik bagi anak kita jika kita biasakan sejak kecil agar mereka bisa lebih baik bersikap di saat memasuki masa-masa pertumbuhan berikutnya. InsyaAllaah :) ... aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar